Senin, Maret 03, 2008

MADRASAH MILIK SIAPA ?

Memang pertanyaan tersebut terdengar aneh ditelinga kita. Bagi sebagian orang yang sudah terbiasa bergelut di dunia madrasah terutama madrasah diniyah awaliyah (MDA) dan madrasah diniyah wustho (MDW) akan menjawab secara serempak kalau madrasah milik Departemen Agama atau dibawah naungan Departemen Agama. Sebaliknya bagi sebagian orang yang setiap harinya menangani pendidikan Madrasah Iptidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) tentulah jawabannya mungkin berlainan. Kalau kita menilik Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 30 (3) disana dinyatakan bahwa “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” Dengan demikian menurut pasal tersebut maka MDA dan MDW merupakan pendidikan keagamaan. Sehingga penangannya langsung oleh Departemen Agama tanpa campur tangan Departemen Pendidikan Nasional. Bagaimana dengan MI, MTs dan MA ? Secara tegas dalam pasal 17 (2) menyatakan kalau MI dan MTs merupakan pendidikan dasar . Sedang dalam pasal 18 (3) MA merupakan pendidikan menengah. Lalu MI, MTs dan MA milik siapa ? Apakah milik Departemen Agama ? May be yes, may be no. Kok bisa ? Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan :

1. Kurikulum
Pada saat SD, SMP dan SMA menggunakan kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) di MI, MTs dan MA juga menggunakan kurikulum CBSA. Kemudian setelah muncul kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) MI, MTs dan MA ikut-ikutan menggunakan KBK. Sekarang pada saat SD, SMP dan SMA diberlakukan kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan); MI, MTs dan MA pun tidak mau ketinggalan mengunakan KTSP. Kita tidak pernah mendengar kurikulum “CBSA” (Cara Belajar Sistem Al Quran), “KBK” (Kurikulum Berbasis Keagamaan) dan “KTSP” (Kurikulum Tingkat Satuan Pesantren) atau kurikulum lainnya yang memang dibuat oleh Departemen Agama khusus untuk MI, MTs dan MA.

2. Ujian Nasional dan Standar Kelulusan
Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan secara nasional pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional menerapkan Ujian Nasional (UN). Dengan standar kelulusan untuk tiga mata pelajaran yaitu matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris minimal 4,26. Sementara di MTs dan MA belum ada Ujian Nasional untuk mata pelajaran Aqidah, Akhlaq, Qur’an Hadist, Bahasa Arab dan Ibadah Muamalah, serta pelajaran agama Islam lainnya. Sebagai sekolah yang bercirikan Islam mestinya ada Ujian Nasional untuk mata pelajaran agama. MI, MTs dan MA tentunya harus punya standar kelulusan minimal untuk tiga mapel seperti di SMP, SMA atau SMK milik Departemen Pendidikan Nasional dengan pengawasan yang ketat serta menggunakan sistem komputerisasi sebagai penilaiannya. Misalnya nilai tes untuk mata pelajaran Aqidah, Qur’an Hadist dan Ibadah Muamalah minimal 4,26 sebagai standar kelulusannya. Sedangkan nilai praktek untuk mata pelajaran Aqidah, Akhlaq, Alquran Hadist dan Ibadah Muamalah minmal 8,00 atau 80. Dengan demikian kalau ada siswa yang tidak bisa membaca Al Quran dengan baik dan benar (menurut ilmu Tajwid) maka siswa tersebut dinyatakan tidak lulus walaupun nilai matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris semuanya 8,00 atau 80.

3. Komite Sekolah
Dibentuknya komite sekolah diharapkan sebagai mediator antara pihak sekolah, orang tua/wali siswa dan masyarakat serta pemerintah. Sehingga penyelenggaraan pendidian akan melibatkan dan menjadi tanggung jawab semua pihak. Demikian juga di madrasah. Namun pada prakteknya terjadi kerancuan bahkan menjadi bahan tertawaan mana kala kita menggunakan istilah Komite Madrasah. Faktor utamanya jelas yaitu tidak adanya payung hukum yang dapat digunakan dalam pembentukan bahkan penggunaan istilah komite madarsah. Sehingga jangan heran kalau di MI, MTs dan MA masih menggunakan istilah Komite Sekolah.
Dari sinilah maka kita bisa menemukan sendiri jawabannya. Dan sungguh bukan hal yang berlebihan jika kemudian mucul wacana bahwa pengelolaan madrasah sebaiknya diserahkan penuh kepada Departemen Pendidikan Nasional. Kontan saja wacana tersebut membuat gerah Departemen Agama. Namun semuanya berpulang pada madrasah-madrasah itu sendiri. Dilihat dari sumber dananya, sebagai penyelenggara dan pengelola madrasah swasta jelas lebih menguntungkan jika pengelolaanya ditangani oleh Diknas. Dengan anggaran pendidikan 20 % dari APBN diluar gaji guru, anggaran dari pusat untuk peningkatan sarana dan prasarana pun akan mengucur deras. OK, sekarang saat kita merenung..........

Tidak ada komentar: